Senin, 05 November 2007

Merajut Duit dari Kapas


Setiap tahun rata-rata dibutuhkan pasokan 500 ribu ton serat kapas. Namun, produksi kapas dari petani baru mampu memenuhi 0,5% dari kebutuhan.

Sampai saat ini, produksi kapas yang dikembangkan petani hanya mampu memasok tidak lebih dari 0,5% kebutuhan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional. Oleh sebab itu, impor serat kapas yang mencapai 450 ribu—790 ribu ton, tak bisa dielakkan. Padahal, setiap tahun devisa negara tersedot sekitar US$600—650 juta.
Amat disayangkan kebutuhan TPT yang tinggi tersebut tidak diimbangi dengan kemampuan penyediaan bahan baku dari dalam negeri. Di sisi lain, kebutuhan bahan baku serat alam, kapas, terus meningkat, rata-rata 3%/tahun.

Perlu Terobosan
Harga serat kapas dunia pun semakin meningkat. Hal ini terkait dengan ditetapkannya pencabutan subsidi ekspor kapas dari negara-negara produsen kapas sejak 2006, sesuai kesepakatan WTO di Hongkong pada Desember 2005.
Ditambah lagi pembatasan kuota oleh negara-negara produsen itu yang berdampak semakin terbatasnya volume serat kapas dunia bagi para pengimpor. Tentu saja kondisi ini kian mempersulit para industriawan tekstil lantaran kemampuan impornya semakin menurun.
Menurut Cotlook Ltd., cadangan kapas global tahun ini akan turun lebih besar karena kenaikan permintaan dari India. Konsumsi kapas oleh India naik 2,6% menjadi 7,1 juta ton pada akhir tahun fiskal yang berakhir 31 Juli lalu. Walaupun menjadi negara produsen kapas terbesar ketiga dunia, India juga merupakan pengguna kapas terbesar kedua di dunia.
Masih menurut Cotlook Ltd, stok kapas hingga 31 Juli lalu turun sampai 962 ribu ton dari setahun sebelumnya. Sementara Deptan AS memperkirakan cadangan kapas dunia 11,38 juta ton.
Soal harga, menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), di pasar dunia rata-rata US$1,2/kg. Sementara harga kapas asal Amerika Serikat rata-rata US$1,3/kg. Di lain pihak, AS mendominasi pasar impor kapas dengan porsi 39,13% dari total impor kapas yang masuk Indonesia. Tahun lalu misalnya, volume impor kapas asal negara Paman Sam itu sebanyak 181,94 juta kilogram, senilai US$617,8 juta.
Untuk mengurangi ketergantungan impor, tentu diperlukan terobosan guna meningkatkan produksi kapas nasional. Menjawab hal itu, Ditjen Perkebunan, mulai tahun ini, secara bertahap sampai dengan 2015, bertekad mengembangkan kapas di beberapa sentra produksi. Pada 2008, pemerintah akan mengembangkan 20 ribu hektar tanaman kapas di 7 provinsi (Tabel 1.). “Pemerintah berupaya meningkatkan produksi kapas nasional melalui pengembangan di daerah potensial, sehingga impor bisa dikurangi,” ungkap Ahmad Mangga Barani, Dirjen Perkebunan.
Untuk pengembangan pada 2008 saja, lanjut dia, pemerintah telah menganggarkan dana APBN murni Rp20,771 miliar. Dana tersebut digunakan untuk subsidi penyediaan benih unggul, bantuan modal kerja, dukungan sarana pengairan, kosolidasi lahan, dan penguatan kelembagaan. Melalui upaya itu, diharapkan ada penambahan produksi 6.600 ton.

Terbuka
Peluang pengembangan kapas masih terbuka, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi. Hasil penelitian Puslit Tanah dan Agroklimat, potensi lahan untuk pengembangan kapas tersedia 1,3 juta hektar, yang tersebar di Jateng, Yogyakarta, Jatim, Bali, NTB, NTT, dan Sulsel.
Adalah PR Sukun di Kudus, Jateng, salah satu perusahaan yang mulai mengembangkan kapas sejak ada program Intensifikasi Kapas Rakyat (IKR), pada 1981. Meski bisnis utamanya rokok, PR Sukun juga mau menekuni usaha kapas. “Perusahaan kami tergerak untuk menekuni bisnis kapas guna membantu memasok bahan baku industri tekstil yang selama ini banyak diimpor,” papar Heri Wisnubroto, Koordinator Produksi Kapas PR Sukun.
Namun untuk memproduksi kapas dalam jumlah besar, PR Sukun belum mampu. Oleh sebab itu, tahun ini Heri menargetkan menanam 3.000 ha. Sampai dengan bulan ini, Heri mengaku baru bisa merealisasikan 2.400 ha, dengan produksi 1.000 ton. Walau begitu, tahun depan PR Sukun merencanakan memperluas penanaman menjadi 4.000 ha yang tersebar di 14 kabupaten di Jateng, Yogyakarta, dan Jatim. Pasar yang dibidik yaitu perusahaan tekstil lokal, terutama untuk bahan baku batik dan benang.
Sejak menekuni kapas, PR Sukun bermitra dengan petani sebagai pelaksana penanaman. Mereka melakukan penanaman sistem tumpangsari dengan palawija. Sampai sekarang sudah ada 9.000 petani yang terlibat di bisnis itu.
Pun PT Seko Fajar Cotton (SFC) di Bantaeng, Sulsel. Perusahaan yang sudah beroperasi sejak 1982 itu, kini mengupayakan 2.500 hektar kebun kapas di Kabupaten Sinjai, Bulukumba, dan Bantaeng. Namun, menurut Andi Hamzah, Manager SFC, sejak perusahaan berkapasitas 20.000 ton/tahun itu berdiri, kebutuhannya belum pernah terpenuhi.
Seperti halnya PR Sukun, SFC pun bermitra dengan petani. SFC memberikan paket kredit berupa sarana produksi seperti pupuk dan pestisida. Hutang petani kepada inti dibayar setelah panen.

Terjamin

Dibanding komoditas lain, tampaknya kapas sangat istimewa. Betapa tidak, harga kapas tak pernah turun naik (fluktuatif). “Harga kapas selalu stabil, tidak pernah turun. Tiap tahun ada kenaikan. Misalnya, tahun lalu Rp2.300/kg. Sekarang Rp2.500/kg,” urai Mardjuni, Ketua Asosiasi Petani Kapas Indonesia (Aspekindo).
“Harga kapas tidak pernah mengalami fluktuasi, karena ditentukan langsung oleh pemerintah. Harganya dipatok oleh pemerintah sebelum tanam, beda dengan komoditas lain,” imbuh Barrudin, petani kapas di Bantaeng. Kenyataan itu dibenarkan Dirjen Mangga Barani. “Harga kapas berbiji (di tingkat petani, Red.) memang ditetapkan pemerintah. Sehingga sebelum tanam petani sudah mengetahui berapa keuntungan yang akan mereka peroleh. Untuk tahun depan, diperkirakan harganya naik menjadi Rp3.000/kg,” ucapnya.
Disamping harga, pasar serat kapas pun sudah jelas. Para petani yang mengupayakan kapas biasanya bermitra dengan perusahaan pengelola kapas. Selain menjamin pasar, pengelola kapas bersama dinas perkebunan setempat melakukan pembinaan kepada petani, dan memfasilitasi pengadaan saprodi, hingga pengurusan permodalan. Tercatat 9 perusahaan pengelola kapas yang tersebar di 7 propinsi sentra produksi: PT Nusafarm Intiland Corp, PR Sukun Kudus, PT Seco Fajar Cotton, PTPN XIV, PT Kapas Garuda Putih, Kelompok Tani Mandiri, PT New Asia Mandiri, PT Sukses Jaya Wood, dan PT Ade Agro Industri.

Benih Unggul

Walaupun harganya dipatok dan pasarnya terjamin, ternyata usaha tani kapas tidak mudah. Umur tanaman sih boleh pendek, hanya 4 bulan. Tapi tantangan yang dihadapi dalam pengembangan kapas cukup kopleks. Sebut saja ketersediaan benih bermutu, kelangkaan modal petani, masih rendahnya produktivitas, efisiensi biaya produksi, dan isu penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan.
“Usaha tani kapas sangat tergantung kepada lingkungan dan musim,” ucap Heri. Sebelum menanam, lanjut dia, perlu dilakukan survey kesesuaian lahan dan teknologi pendukung.
Sebenarnya, menurut Dr Emy Sulistiyowati, peneliti kapas dari Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat (Balittas), Malang, pihaknya telah menghasilkan berbagai teknologi. Meliputi varietas unggul, waktu tanam, pemupukan, sistem tanam, dan penegendalian hama penyakit
Varietas unggul made in Balittas yaitu Kanesia 1—15. Hingga kini baru Kanesia 8 yang banyak ditanam petani. Di luar itu, ada juga varietas unggul hasil introduksi, yakni LRA 5166 dari India, ISA 205A dari Perancis, dan 3 varietas hibrida dari China.
Kehadiran benih kapas hibrida menjadi angin segar bagi upaya pengembangan kapas nasional. Menurut Jusuf Jogianto, Dirut PT Supin Raya, pemasok benih kapas unggul di Makassar, dengan menggunakan benih hibrida, petani bisa mengantungi untung Rp7,5 juta/ha. Memang, biaya produksi meningkat dua kali lipat dibanding kapas biasa, namun produksinya sangat tinggi, 3,5—4 ton/ha. Selain Supin, penyedia benih kapa unggul di tanah air adalah PR Sukun Kudus dan PT Nusafarm Intiland Corp.(dwi)

Tidak ada komentar: