Selasa, 27 Januari 2015

INDUSTRI IMPOR PASTA, PETANI KIAN MENDERITA

Keinginan industri saus untuk mengganti bahan baku dari cabai segar ke pasta semakin menjadi-jadi. Yang bakal menderita tentu saja para petani cabai di dalam negeri.
Memasuki awal tahun 2015, nasib petani cabai yang bermitra dengan industri saus semakin tidak karuan. Pasalnya, perpanjangan kontrak penanaman cabai oleh industri hingga saat ini belum ditandatangani. Di lain sisi, para petani mitra industri sudah kadung menanamnya. “Hingga Januari, perpanjangan kontak penanaman belum di-acc oleh pihak pabrik. Padahal, kami telah mengajukan sejak September tahun lalu,” aku Alih Alfan Sugiri, Ketua Gapoktan Maju Bersama di Sukabumi. Pihak pabrik, lajut Alih, hanya berdalih bahwa seluruh kontrak dengan petani pada 2015 ditunda. Tahun lalu Gapoktan Maju Bersama menanam 17 hektar cabai merah besar. Seluruh produksinya dipasok ke pabrik saus PT. Heinz ABC Indonesia. Tahun ini, mereka juga sudah kadung menanam 15 hektar. “Akhir Januari ini kami mulai panen. Kami belum tau mau dijual ke mana,” keluh Alih.
Gara-gara Impor Pasta Salah satu sumber iHorti di Heinz ABC menyebut, jumlah petani yang bermitra tahun ini tidak lebih dari 100 petani (growers). Sementara pada 2014 ada 800-an growers. Petani yang kini masih bermitra, lanjut dia, adalah mereka yang masih terikat kontrak 2014, bukan petani baru atau pun petani yang memperpanjang kontrak. Satu growers umumnya melibatkan lebih dari 10 petani. Gapoktan Maju Bersama contohnya, melibatkan 24 petani. Bila satu growers terdiri dari 10 petani saja berarti tahun ini Heinz ABC hanya bermitra dengan 1.000 petani. Dengan kata lain, sekitar 7.000 petani lainnya yang langsung memasok ke pabrik akan gulung tikar. Ketua Komite Tetap Ketahanan Pangan Kadin, Fransciscus (Frangky) Welirang, pernah menyampaikan, industri akan terus berupaya mencari bahan baku untuk tetap berproduksi dari mana pun asalnya. Frangky yang juga komisaris PT. Indofood Sukses Makmur, juga menyebut umumnya industri memenuhi kebutuhannya dengan dua cara, yaitu impor dan dari dalam negeri. Pasokan dari lokal juga terbagi dua, dari pasar bebas (melalui bandar) dan dari petani mitra (growers). Memang, diakui Frangky, mendapatkan cabai impor secara availability jauh lebih mudah, terutama keterjaminan kontinutitas pasokan. Pemberhentian kemitraan dengan petani oleh pabrikan, tak lain gara-gara pabrikan berencana mengimpor cabai pasta gede-gedean. Sumber iHorti lainnya di pabrik saus mengakui pihaknya menghentikan kemitraan karena sumber bahan baku sausnya akan diganti dari impor berupa cabai pasta. Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI), Dadi Sudiyana, mengatakan, industri makanan di dalam negeri lebih memilih mengimpor cabai dalam bentuk pasta. Sedangkan permintaan dari cabai segar produksi petani lokal dikurangi. Tampaknya, keinginan pabrikan untuk mengimpor cabai pasta sudah mendapat lampu hijau dari pemerintah. “Tahun ini, pemerintah menjamin tidak ada impor cabai segar, kecuali dalam bentuk esens (ekstrak) atau sejenisnya,” ucap Hasanuddin Ibrahim, Dirjen Hortikultura. Ya, salah satu produk cabai olahan adalah pasta itu. Sungguh ironis bila Indonesia lebih memilih impor cabai dalam berbagai bentuk ketimbang mengutamakan produksi dalam negeri. Pak Presdien Jokowi dan Pak Menteri Perekonomian Sofyan Jalil, apakah Anda akan membiarkan negara ini terus mengimpor produk pertanian? Bukan kah Anda sempat kecewa ketika mengetahui Indonesia masih mengimpor banyak produk pertanian termasuk cabai? (dwi) )

Rabu, 02 Juli 2008

Harga Menggoda, Belum Jua Swasembada


Permintaan terus membumbung. Harganya pun kian melambung. Tapi mengapa jagung Indonesia belum juga menggunung? Jangan-jangan data yang ada salah hitung.

Selain tergantung pasokan dan permintaan, harga jagung lokal dipengaruhi oleh harga jagung di pasar internasional. Harga jagung impor sudah menembus US$303 per ton. Setelah ditambah ini itu dan bea masuk 5%, harga di tanah air sekitar Rp3.000—Rp3.100 per kg. Pun jagung lokal, harganya sekarang berkisar Rp2.300—Rp2.900 per kg.
Tentu saja, bila pengembangan jagung di tanah air benar-benar dilakukan, akan sangat diuntungkan oleh membaiknya harga tersebut. Bayangkan saja, untuk memproduksi satu kg jagung pipilan kering, hanya dibutuhkan biaya produksi Rp700—Rp1.000. Sementara hasil panen per hektar (ha) sekitar 7—10 ton pipilan kering.
“Setelah dikurangi biaya produksi Rp6,7 juta, saya masih mendapat keuntungan Rp11,8 juta per ha,” aku H. Hisbullah, petani yang mengusahakan 6 ha jagung di Gumukmas, Jember, Jatim. Hal senada diutarakan Maryanto, petani jagung di Trucuk, Klaten, Jateng. “Penjualan hasil panen mencapai Rp18,9 juta pe ha. Setelah dikurangi biaya produksi Rp825 per kg, keuntungannya Rp11,5 juta,” ucapnya. Baik Maryanto maupun Hisbullah, keduanya mengusahakan jagung hibrida, sejak 5 dan 9 tahun silam.

Belum Terpenuhi
Harga jagung pipilan kering memang menggoda bagi mereka yang mau jadi petani. “Kini, animo masyarakat untuk menanam jagung hibrida meningkat 10%—20% dibanding tahun lalu,” ungkap Mardahana, General Manager Seed PT DuPont Indonesia, produsen benih jagung hibrida Pioneer. Hal senada diutarakan Muhamad Saifi, Indonesia Sales Manager PT Syngenta Indonesia–Seeds Division, produsen benih jagung hibirida NK. “Dibanding tahunlalu, minat masyarakat untuk menanam jagung meningkat 3—4 kali lipat,” terangnya. Hal itu, lanjut dia tampak dari banyaknya petani yang terjun ke budidaya jagung di daerah pengembangan baru, seperti Sulawesi, Kalimantan, dan NTB.
Salah satu pemain baru di budidaya jagung adalah F. Alexander FW. Pada 2005, ia mendirikan PT Teora Triberkah Abadi untuk mengelola 300 ha kebun jagung di Sukabumi, Jabar. Selain itu, ia pun bermitra dengan petani sekitar dengan luas garapan 50 ha. “Kami terjun ke bisnis jagung lantaran permintaannya jelas, lahan masih luas, tenaga kerja tersedia, dan secara analisis usahanya sangat menguntungkan,” papar Alex yang masih aktif di bisnis perunggasan itu.
Walaupun lahan garapan Alex dan petani mitranya cukup luas, ia mengaku belum bisa memenuhi permintaan pasar yang besar. “Sementara ini kami baru bisa memasok para pengusaha ayam ras petelur. Sementara permintaan pabrik pakan yang mencapai 2.000 ton per hari belum bisa kami penuhi,” paparnya.
Memang, pasar jagung yang terbilang jelas adalah industri perunggasan. Betapa tidak, setiap hari industri unggas memerlukan pasokan jagung. Sebab, jagung menjadi bahan baku utama dalam pembuatan pakan. Tengok saja, dalam formula pakan unggas, sekitar 62% berupa jagung.
Menurut Fenni Firman Gunadi, Sekjen Asosiasi Perusakan Pakan Indonesia (GPMT), secara nasional pabrik pakan membutuhkan 350 ribu ton jagung per bulan. Di lain pihak, pasokan jagung dari petani belum bisa kontinyu, lantaran penanaman dan panen jagung berlangsung musiman. Atas alasan itu pula, untuk menutupi kekurangan pasokan, pabrikan tidak bisa menghindari impor.
Pada 2005, menurut Fenni, impor jagung sebanyak 400 ribu ton. Setahun kemudian membengkak menjadi 1,7 juta ton. Namun tahun lalu turun menjadi 670 ribu ton. Tahun ini, pabrik pakan diperkirakan butuh pasokan 3,8 juta ton.
“Kurun Januari—April, belum ada pabrik pakan yang mengimpor jagung. Sebab pasokan lokal masih mencukupi. Namun dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, di bulan Mei, Juni, dan Oktober jagung impor masuk. Sebab pada bulan itulah pasokan dari lokal kosong,” urai Fenni. Masalahnya sekarang, lanjut dia, impor lebih sulit, karena pasokannya seret. Amerika, Brasil dan China sebagai sumber jagung sudah menjadi rebutan dunia. Paling bisa mendatangkan dari India. Hanya saja, kualitas jagung India belum pernah menonjol. “Seharusnya Indonesia sudah swasembada jagung, sehingga tidak perlu repot impor,” harap Fenni.
Menurut catatan USDA, sampai April lalu, stok jagung dunia tinggal 99 juta ton. Jumlah ini merupakan kondisi terendah sejak 1983. Tahun ini, produksi jagung dunia ditaksir 778 juta ton. Sedangkan kebutuhannya diperkirakan mencapai 788 juta ton. Wajar saja bila jagung menjadi rebutan, sehingga harganya melambung.
Kondisi di dalam negeri, tampaknya data kelola jagung masih ruwet, sehingga antara jumlah produksi dan permintaan bersebrangan. Dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR, Januari lalu, Mentan Anton Apriyantono, menyebutkan produksi jagung pada 2007 sebanyak 13,28 juta ton. Sedangkan pada 2006 sebesar 11,61 juta ton. Tahun ini dan tahun depan, Anton menargetkan produksi jagung masing-masing 16 juta serta 18 juta ton. Namun Mentan tidak merinci bentuk produksinya, pipilan kering atau tongkol.
Data yang disodorkan Mentan jauh berbeda dengan catatan USDA. Tahun 2006 misalnya, USDA mencatat produksi jagung Indonesia 6,9 juta ton. Sedangkan konsumsinya 8,579 juta ton. Ditambah data impor tahun yang sama dari GPMT, catatan USDA menjadi klop.

Harus Hibridisasi
Tanpa mengesampingkan data yang ada, sebenarnya kebutuhan jagung untuk pasar dalam negeri masih menganga. Apalagi jika bicara pasar ekspor. “Kalaupun produksi jagung berlebih, kita bisa ekpor. Pasar Malaysia saja, setiap tahun mengimpor 2,5 juta ton,” ucap Farid Bahar, Ketua Dewan Pakar, Dewan Jagung Nasional.
Sesungguhnya, menggenjot produksi jagung nasional sangat memungkinkan. Sebab, “Dari 3,5 juta ha luas panen jagung, baru 30% yang menggunakan benih hibrida,” tutur Edwin S. Saragih, Technologi Development Lead PT Monsanto Indonesia, produsen benih jagung hibrida Dekalb.
Hal itu diamini Bungaran Saragih, Menteri Pertanian periode 2000—2004. “Strategi utama untuk meningkatkan produksi jagung adalah mengintroduksi benih unggul khususnya jagung hibrida,” tandasnya. Penggunaan benih hibrida, lanjut dia, lambat laun harus ditingkatkan sampai mendekati 100%. Tentunya para produsen benih perlu diberi kemudahan-kemudahan dalam memproduksi benih unggul. Namun, introduksi benih unggul menjadi sia-sia jika tidak disertai penyediaan pupuk, pestisida, serta alat dan mesin pertanian yang dibutuhkan. Semua faktor penunjang ini harus tersedia di wilayah-wilayah produksi pada waktu dan jumlah yang tepat.
Pemanfaatan benih hibrida sampai sekarang baru 19 ribu—20 ribu ton per tahun. Mardahana menghitung, bila 80% luas panen diubah dengan benih hibrida, peluang bisnis pengembangan benihnya sekitar 53 ribu ton per tahun. “Produsen benih hibrida sanggup memenuhi kebutuhan itu, bila pasarnya ada,” ucapnya.

Terkendala Pascapanen
Kendati peluang pengembangan demikian besar, persoalan lama yang kini belum terselesaikan dalam agribisnis jagung adalah penanganan pascapanen. Panen jagung di Indonesia berlangsung musiman, dua kali dalam setahun. Sementara jagung dibutuhkan industri setiap hari.
Fasilitas pascapanen yang dibutuhkan meliputi mesin pengering, pemipil, dan gudang penyimpanan layak pakai. Tak ketinggalan pembangunan infrastruktur, karena banyak daerah pengembangan yang sulit diakses kendaraan.
Dalam hal alat pengering, Ditjen P2HP-Deptan, kurun 2006—2007 telah membangun silo di 57 kabupaten sentra produksi. Sayangnya, silo yang dibangun berukuran kecil, dengan total kapasitas hanya 5.200 ton. Dibanding produksi jagung tahun lalu yang mencapai 13,28 juta ton, kapasitas silo-silo itu nyaris tak berarti.
Pemerintah malah mencoba membagi beban tanggung jawab, swasta juga diminta bertanggung jawab atas kelangsungan produksi jagung lokal. ”Di negara mana pun sebuah industri memerlukan jaminan pasokan bahan baku. Para pengusaha (pabrikan) telah dengan susah payah menciptakan lapangan kerja. Tapi di sisi lain pemerintah “enggan” memberi jaminan pasokan jagung,” keluh Fenni. “Karena suplai jagung lokal tidak jelas, baik kualitas maupun kuantitasnya, impor tidak bisa dihindarkan,” imbuh Saifi.(dadang wi)

Senin, 05 November 2007

Bisnis Jamur, Bikin Tergiur


Jangankan mengabulkan permintaan ekspor, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri saja, para petani belum mampu.
Bingung agribisnis mana yang akan dipilih? Tak ada salahnya bila Anda mencoba usaha tani jamur konsumsi. Menurut H.M Kudrat Slamet, Ketua Umum Masyarakat Agribisnis Jamur Indonesia (MAJI), jenis jamur yang diminati konsumen yaitu jamur merang (Volvariella volvaceae), jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), jamur kuping (Auricularia polytricha), champignon (Agaricus bisporus), dan shiitake (Lentinus edodes).
Dari kelima jenis jamur tersebut, jamur meranglah yang banyak diusahakan petani. Sebab, dibanding jenis jamur lainnya, jamur merang lebih mudah dibudidayakan, dan siklus hidupnya pendek hanya satu bulan. “Jamur merang mendominasi 55%—60% dari total produksi jamur nasional,” ungkap Kudrat.
Berikutnya adalah jamur tiram putih. Produksi jamur yang pengembangannya mulai dirintis sejak 1997-an itu, sekitar 30% dari total produksi jamur Indonesia. Jamur kayu yang banyak dibudidayakan di daerah berketinggian 800—1.300 m di atas permukaan laut ini mempunyai siklus hidup 5 bulan, dengan masa panen 4 bulan.

Tinggal Pilih
Petani jamur merang banyak dijumpai di dearah dataran rendah, seperti di Pantura (Pantai Utara Jawa). Khususnya di Jabar, sentra produksi jamur merang dapat ditemui di Bekasi, Karawang, Subang, dan Cirebon.
Sementara sentra jamur tiram putih berada di Kabupaten Bandung (Cisarua, Lembang, Ciwidey, Pangalengan), Bogor, Sukabumi, Garut, dan Tasikmalaya. Di luar Jabar terdapat di Sleman, Yogyakarta, dan Solo. Untuk jamur kuping, bisa dijumpai di Jateng (Ambarawa dan Yogyakarta), serta di Ciwidey.
Walupun belum banyak, pelaku usaha jamur champignon, alias jamur kancing, dapat dijumpai di Bumiayu (Jateng) dan Randutatah, Malang (Jatim). Pun untuk jamur shiitake, contoh pelaku usahanya berada di Cibodas Lembang dan Malang.
Champignon dan shiitake lebih banyak dihasilkan oleh perusahaan besar, lantaran diproduksi untuk olahan (kalengan). Sementara jamur merang, jamur tiram putih, dan jamur kuping, lebih merakyat, sehingga banyak dipilih untuk diusahakan.

Bernilai Plus
Menurut MAJI, dalam tiga tahun terakhir, minat masyarakat untuk mengonsumsi jamur terus meningkat. Salah satunya dapat dilihat dari kreatifitas para pedagang, yang sebelumnya hanya menjajakan jamur segar, sekarang sudah merambah ke olahan, seperti memproduksi keripik jamur.
Kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi jamur berpengaruh positif terhadap permintaan pasokan. “Permintaan jamur terus meningkat, berapapun yang diproduksi oleh petani habis terserap. Kenaikannya sekitar 20%—25%/tahun,” papar Ir N.S Adiyuwono, pemilik perusahaan Jamur Sinapeul di Ciwidey, yang mengusahakan jamur tiram dan jamur kuping.
Konsumen, lanjut Adi, menyadari bahwa jamur bukan sekadar makanan, tapi juga mengandung khasiat obat. “Dulu, banyak orang kalau ditawari jamur, takut keracunan. Sekarang ada perubahan paradigma, ketika disodori jamur akan bertanya tentang khasiatnya,” imbuhnya.
Selain lezat, dewasa ini orang makan jamur lantaran pertimbangan kesehatan. Jamur mudah dicerna dan dilaporkan berguna bagi para penderita penyakit tertentu. Jamur merang misalnya, berguna bagi penderita diabetes dan penyakit kekurangan darah. Memang, setiap jenis jamur mengandung khasiat obat tertentu (baca: Kahasiat Jamur).
Jamur mempunyai nilai gizi tinggi, terutama kandungan proteinnya sekitar 15%—20% (bobot kering). Daya cernanya pun tinggi, 34%—89%.
Kelengkapan asam amino yang dimiliki jamur lebih menentukan mutu gizinya. Kandungan lemak cukup rendah, antara 1,1%—9,4% (bobot kering), berupa asam lemak bebas mono ditriglieserida, sterol, dan fosfolipida.
Jamur juga merupakan sumber vitamin antara lain thiamin, niacin, biotin, dan asam askorbat. Umumnya, jamur kaya akan mineral terutama fosfor, kalsium, dan zat besi.

Belum Terpenuhi
Sampai saat ini jamur lebih banyak diproduksi di Jawa. Berdasar data MAJI, setiap hari Jabar memproduksi 15—20 ton jamur merang dan 10 ton jamur tiram.
Sementara jamur kuping, dengan sentra utama Jateng, setiap hari memproduksi 1 ton. Disusul jamur shiitake dengan produksi 500 kg/hari.
Sebagian besar produksi jamur dipasarkan dalam bentuk segar. Kota-kota besar menjadi tujuan pasar utama jamur selama ini. Pasar Jakarta misalnya, dipasok dari Karawang, Bandung, Bogor, dan Sukabumi. Dari Cisarua Bandung saja, setiap hari, tidak kurang dari 3 ton jamur tiram masuk Jakarta. Misa memprediksi, kebutuhan pasar Jakarta terhadap jamur merang sekitar 15 ton/hari. Sementara Karawang baru mampu memasok 3 ton.
Untuk jamur kuping terutama diserap pasar Jateng, lantaran banyak dibutuhkan industri jamu. Walau demikian, jamur kuping dari Jateng pun masuk Bandung, sehari tidak kurang dari 200 kg.
Selain dijual segar, sebagian pelaku usaha melakukan diversifikasi produk dengan memproduksi keripik dan tepung. Rina di Bandung misalnya, setiap hari memproduksi 50—100 kg keripik jamur tiram. Sampai saat ini dia mengaku belum mampu memenuhi permintaan yang mencapai 500 kg—2 ton. Sementara tepung banyak dibutuhkan industri untuk memenuhi kebutuhan kelompok vegetarian.
Walau banyak dibutuhkan, “Seluruh produksi jamur baru memenuhi 50% dari permintaan pasar,” ucap Kudrat. Belum lagi ditambah permintaan pasar luar negeri, seperti Singapura, Jepang, Korea Selatan, China, Amerika Serikat, dan Uni Eropa (Tabel 1). “Sampai saat ini permintaan itu belum bisa dipenuhi,” imbuh Basuki Rachmat, Sekjen MAJI. Ir Misa MSc., petani jamur merang di Karawang, yang juga Kepala Pusdiklat Budidaya Jamur Merang Indonesia, pun membenarkan permintaan pasar ekspor belum sanggup terpenuhi. “Untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri saja masih kurang,” imbuh lulusan Teknik Kimia ITB ini yang sudah bertani jamur sejak 1990 lalu.

Harga Stabil

Dibanding komoditas lain, harga jamur terbilang stabil. Mungkin lantaran jamur bukan komoditas pokok seperti beras, cabai, maupun bawang merah.
Dalam dua minggu pertama September, harga jamur merang di tingkat petani Rp9.000—Rp10.000/kg (BEP Rp6.000/kg). Selisih harga di tingkat pengumpul lebih tinggi Rp3.000—Rp4.000/kg. Di pasar, harganya menjadi Rp15.000—Rp20.000/kg. “Karena rantai tataniaganya cukup panjang, selama ini keuntungan dari bisnis jamur merang lebih banyak dinikmati para pengumpul,” tandas Kudrat.
Kalau jamur tiram, keuntungannya lebih banyak dinikmati oleh petani. Pengumpul paling memperoleh keuntungan Rp1.000—Rp2.000/kg. Harga jamur tiram di tingkat petani pada kurun waktu yang sama rata-rata Rp5.300/kg (BEP Rp4.000/kg). Di pasar induk Rp6.000/kg (subuh) dan di pasar kecil Rp10.000/kg.
Harga jamur kuping basah di tingkat petani rata-rata Rp6.000/kg. Di pasar Rp8.000/kg. Sedangkan jamur kuping kering berkisar Rp35.000—Rp50.000/kg. Menurut Adi, untuk menghasilkan sekilo jamur kuping kering diperlukan 6 kg yang basah.
Kendati harganya cukup menggiurkan, ada saat dimana jamur segar kurang laku, yaitu 1—2 minggu setelah Lebaran. Setelah itu harganya normal kembali. Oleh sebab itu, diversifikasi produk menjadi sangat penting.

Stagnan

Dalam 2 tahun terakhir, produksi jamur stagnan, bahkan cenderung menurun. Padahal petani pembudidaya sudah cukup banyak. Petani inti jamur merang sekitar 5.000 orang, jamur tiram 600 petani, jamur kuping 200 petani, dan pengusaha shiitake sekitar 10 pelaku.
Menurut Kudrat, yang mempengaruhi stagnasi produksi lantaran ada sekitar 30% petani jamur merang maupun tiram yangg kolaps, karena mereka tidak mampu lagi untuk berproduksi. Ini lebih banyak diakibatkan oleh kesulitan memperoleh bahan bakar minyak tanah, lantaran harganya naik. Padahal, “BBM merupakann 20% dari ongkos produksi,” tandas Adi.
Memang, minyak tanah bisa dikonversi dengan batubara atau kayu bakar. Namun bukan hal mudah. “Dulu, saya pernah menggunakan batubara, tapi ternyata panasnya tidak stabil, dan asapnya mempengaruhi kualitas media tanam,” aku Misa. Ditambah lagi, bila menggunakan batubara, selain susah didapat juga menghasilkan limbah debu. Sementara budidaya jamur harus benar-benar bersih.
Selain itu, para petani juga dihadapkan kepada persoalan akumulasi hama penyakit. Di Kabupaten Bandung misalnya, petani dipusingkan oleh serangan cendawan Aspergillus sp. Cendawan ini sangat mengganggu media tanam (baglog) sehingga pertumbuhan jamur tiram terhambat, bahkan mati. Hal ini terjadi saat kemarau panjang atau hujan berkepanjangan. Di lain pihak, “Sekitar 50% biaya produksi terdiri dari media tumbuh,” ucap Kudrat.
Pun di Yogyakarta, para petani jamur kuping kelimpungan oleh serangan hama krepes (tungau). Pengendalian dengan racun akarisia bukan solusi, lantaran jamur merupakan produk organik.

Usaha Sarana
Selain mengandalkan penjualan jamur segar, beberapa petani jamur memilih menjual bibit botolan dan baglog. Kudrat, yang juga pemilik perusahaan jamur CV. Citi Mandiri di Ciasura Bandung, selain memproduksi jamur tiram, juga menjual bibit dan baglog. Dari 15 kumbung yang diusahakan, setiap hari ia memproduksi 10.000 baglog dan bibit botolan.
Demikian pula Adiyuwono yang mulai merintis usaha sejak 2003. Setiap bulan ia memproduksi 100 ribu baglog, 10—40% diantaranya untuk jamur kuping. Sementara produksi bibitnya sebanyak 30.000 botol/bulan.
Bibit ia jual Rp4.000—Rp5.000/botol. Sedangkan baglog jamur tiram dijual Rp1.600 dan Rp1.400 untuk baglog jamur kuping. Selain diserap petani di Jawa, bibit itu dilempar sampai ke Sumatera dan Kalimanatan.
Hal serupa dilakukan juga Jemy Susanto, pemilik perusahaan Jamur Agro Lestari di Solo. Setiap bulan ia memproduksi bibit F2 1.000 botol dan 20.000 baglog. Bibit dan baglog ini ia pasarkan hingga ke luar Jawa. Jemy mematok harga bibit Rp59.000 untuk Jawa dan Rp69.000 luar Jawa.
Berdasar data MAJI, omzet perdagangan media tanam mencapai Rp 4,4 miliar/tahun. Sedangkan omzet perdagangan bibit mencapai Rp 750 juta setahun. Adapun omzet perdagangan jamur segar mencapai Rp 17,3 miliar/tahun.(dwi)

KHASIAT JAMUR
1. Jamur Merang
Mengandung antibiotik yang berguna untuk pencegahan penyakit anemia, menurunkan darah tinggi, dan pencegahan penyakit kanker. Eritadenin dalam jamur merang dikenal sebagai penawar racun.
2. Jamur Tiram
Sumber protein nabati yang tidak mengandung kolesterol dan mencegah timbulnya penyakit darah tinggi dan jantung, mengurangi berat badan, dan diabetes. Kandungan Vit. B-komplek tinggi, dapat menyembuhkan anemia, anti tumor, dan mencegah kekurangan zat besi.
3. Jamur Kuping
Lendirnya berkhasiat menetralkan racun yang terdapat dalam bahan makanan, sirkulasi darah lebih bebas bergerak dalam pembuluh jantung.
4. Jamur Champignon
Sumber protein nabati, mengurangi risiko penyumbatan pembuluh darah koroner pada penderita penyakit hipertensi dan jantung akibat kolesterol. Dimanfaatkan sebagai bahan baku kosmetik dan formula obat penghalus kulit.
5. Jamur Shiitake
Meredakan efek serangan influenza, menghambat pertumbuhan sel kanker, leukemia, dan rheumatik. Enzim-enzim yang terkandung di dalam shiitake dapat memproduksi asam amino tertentu yang mampu mengurangi kadar kolesterol dan menurunkan tekanan darah. Jamur ini pun dipercaya sebagai aprodisiak.

RAHASIA BUKA USAHA
Jangan hanya menghitung keuntungan, tapi Anda mesti memahami segala risiko usaha. Berikut rahasia usaha tani jamur hasil penelusuran dari para pelaku yang sudah eksis 5—15 tahun.
 Efisiensi biaya produksi. Bila ada pesaing atau kegagalan di atas standar, dengan efisiensi, asset bisa diamankan.
 Safetis. Agar untungnya tinggi, upayakan agar kontaminasi tidak lebih dari 10%. Kontaminasi 60% berarti kolaps. Bila perawatan setengah-setengah, bisnis paling bertahan 3 tahun. Sebaliknya, dengan perawatan semestisnya, satu siklus usaha bisa bertahan 5—6 tahun.
 Higienis. Hati-hati menggunakan bahan untuk media tumbuh karena bisa mengundang hama penyakit. Hindari penggunaan pestisida. Untuk pengadaan bahan cari 3 M: murah, mudah, dan hasilnya maksimal. Manfaatkan sumber bahan yang ada di wilayah masing-masing (jerami, tongkol jagung, limbah sawit, eceng gondok, serbuk gergaji, polard).
 Dinamis, inovatif, dan kreatif. Gali dan perdalam ilmu sesuai pengalaman yang terjadi di wilayah masing-masing. Tiap daerah potensial mengembangkan cara-cara budidaya yang kondisional. Sebab dengan cara yang khas akan memperoleh biaya produksi lebih murah.
 Perhatikan standar-standar keberhasilan. Bisnis jamur mempunyai tahapan budidaya: membuat serbuk, mengukus, memasukan bibit (inokulasi), inkubasi, penumbuhan, panen, pascapanen. Kelalaian di setiap tahapan mesti segera diperbaiki. Semua kegiatan mesti tercatat.
 Diversifikasi. Untuk mempercepat putaran uang, di luar budidaya, lakukan juga bisnis bibit dan baglog. Cash flow bibit hanya dua minggu. Sedangkan baglog 1 bulan.

Merajut Duit dari Kapas


Setiap tahun rata-rata dibutuhkan pasokan 500 ribu ton serat kapas. Namun, produksi kapas dari petani baru mampu memenuhi 0,5% dari kebutuhan.

Sampai saat ini, produksi kapas yang dikembangkan petani hanya mampu memasok tidak lebih dari 0,5% kebutuhan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional. Oleh sebab itu, impor serat kapas yang mencapai 450 ribu—790 ribu ton, tak bisa dielakkan. Padahal, setiap tahun devisa negara tersedot sekitar US$600—650 juta.
Amat disayangkan kebutuhan TPT yang tinggi tersebut tidak diimbangi dengan kemampuan penyediaan bahan baku dari dalam negeri. Di sisi lain, kebutuhan bahan baku serat alam, kapas, terus meningkat, rata-rata 3%/tahun.

Perlu Terobosan
Harga serat kapas dunia pun semakin meningkat. Hal ini terkait dengan ditetapkannya pencabutan subsidi ekspor kapas dari negara-negara produsen kapas sejak 2006, sesuai kesepakatan WTO di Hongkong pada Desember 2005.
Ditambah lagi pembatasan kuota oleh negara-negara produsen itu yang berdampak semakin terbatasnya volume serat kapas dunia bagi para pengimpor. Tentu saja kondisi ini kian mempersulit para industriawan tekstil lantaran kemampuan impornya semakin menurun.
Menurut Cotlook Ltd., cadangan kapas global tahun ini akan turun lebih besar karena kenaikan permintaan dari India. Konsumsi kapas oleh India naik 2,6% menjadi 7,1 juta ton pada akhir tahun fiskal yang berakhir 31 Juli lalu. Walaupun menjadi negara produsen kapas terbesar ketiga dunia, India juga merupakan pengguna kapas terbesar kedua di dunia.
Masih menurut Cotlook Ltd, stok kapas hingga 31 Juli lalu turun sampai 962 ribu ton dari setahun sebelumnya. Sementara Deptan AS memperkirakan cadangan kapas dunia 11,38 juta ton.
Soal harga, menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), di pasar dunia rata-rata US$1,2/kg. Sementara harga kapas asal Amerika Serikat rata-rata US$1,3/kg. Di lain pihak, AS mendominasi pasar impor kapas dengan porsi 39,13% dari total impor kapas yang masuk Indonesia. Tahun lalu misalnya, volume impor kapas asal negara Paman Sam itu sebanyak 181,94 juta kilogram, senilai US$617,8 juta.
Untuk mengurangi ketergantungan impor, tentu diperlukan terobosan guna meningkatkan produksi kapas nasional. Menjawab hal itu, Ditjen Perkebunan, mulai tahun ini, secara bertahap sampai dengan 2015, bertekad mengembangkan kapas di beberapa sentra produksi. Pada 2008, pemerintah akan mengembangkan 20 ribu hektar tanaman kapas di 7 provinsi (Tabel 1.). “Pemerintah berupaya meningkatkan produksi kapas nasional melalui pengembangan di daerah potensial, sehingga impor bisa dikurangi,” ungkap Ahmad Mangga Barani, Dirjen Perkebunan.
Untuk pengembangan pada 2008 saja, lanjut dia, pemerintah telah menganggarkan dana APBN murni Rp20,771 miliar. Dana tersebut digunakan untuk subsidi penyediaan benih unggul, bantuan modal kerja, dukungan sarana pengairan, kosolidasi lahan, dan penguatan kelembagaan. Melalui upaya itu, diharapkan ada penambahan produksi 6.600 ton.

Terbuka
Peluang pengembangan kapas masih terbuka, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi. Hasil penelitian Puslit Tanah dan Agroklimat, potensi lahan untuk pengembangan kapas tersedia 1,3 juta hektar, yang tersebar di Jateng, Yogyakarta, Jatim, Bali, NTB, NTT, dan Sulsel.
Adalah PR Sukun di Kudus, Jateng, salah satu perusahaan yang mulai mengembangkan kapas sejak ada program Intensifikasi Kapas Rakyat (IKR), pada 1981. Meski bisnis utamanya rokok, PR Sukun juga mau menekuni usaha kapas. “Perusahaan kami tergerak untuk menekuni bisnis kapas guna membantu memasok bahan baku industri tekstil yang selama ini banyak diimpor,” papar Heri Wisnubroto, Koordinator Produksi Kapas PR Sukun.
Namun untuk memproduksi kapas dalam jumlah besar, PR Sukun belum mampu. Oleh sebab itu, tahun ini Heri menargetkan menanam 3.000 ha. Sampai dengan bulan ini, Heri mengaku baru bisa merealisasikan 2.400 ha, dengan produksi 1.000 ton. Walau begitu, tahun depan PR Sukun merencanakan memperluas penanaman menjadi 4.000 ha yang tersebar di 14 kabupaten di Jateng, Yogyakarta, dan Jatim. Pasar yang dibidik yaitu perusahaan tekstil lokal, terutama untuk bahan baku batik dan benang.
Sejak menekuni kapas, PR Sukun bermitra dengan petani sebagai pelaksana penanaman. Mereka melakukan penanaman sistem tumpangsari dengan palawija. Sampai sekarang sudah ada 9.000 petani yang terlibat di bisnis itu.
Pun PT Seko Fajar Cotton (SFC) di Bantaeng, Sulsel. Perusahaan yang sudah beroperasi sejak 1982 itu, kini mengupayakan 2.500 hektar kebun kapas di Kabupaten Sinjai, Bulukumba, dan Bantaeng. Namun, menurut Andi Hamzah, Manager SFC, sejak perusahaan berkapasitas 20.000 ton/tahun itu berdiri, kebutuhannya belum pernah terpenuhi.
Seperti halnya PR Sukun, SFC pun bermitra dengan petani. SFC memberikan paket kredit berupa sarana produksi seperti pupuk dan pestisida. Hutang petani kepada inti dibayar setelah panen.

Terjamin

Dibanding komoditas lain, tampaknya kapas sangat istimewa. Betapa tidak, harga kapas tak pernah turun naik (fluktuatif). “Harga kapas selalu stabil, tidak pernah turun. Tiap tahun ada kenaikan. Misalnya, tahun lalu Rp2.300/kg. Sekarang Rp2.500/kg,” urai Mardjuni, Ketua Asosiasi Petani Kapas Indonesia (Aspekindo).
“Harga kapas tidak pernah mengalami fluktuasi, karena ditentukan langsung oleh pemerintah. Harganya dipatok oleh pemerintah sebelum tanam, beda dengan komoditas lain,” imbuh Barrudin, petani kapas di Bantaeng. Kenyataan itu dibenarkan Dirjen Mangga Barani. “Harga kapas berbiji (di tingkat petani, Red.) memang ditetapkan pemerintah. Sehingga sebelum tanam petani sudah mengetahui berapa keuntungan yang akan mereka peroleh. Untuk tahun depan, diperkirakan harganya naik menjadi Rp3.000/kg,” ucapnya.
Disamping harga, pasar serat kapas pun sudah jelas. Para petani yang mengupayakan kapas biasanya bermitra dengan perusahaan pengelola kapas. Selain menjamin pasar, pengelola kapas bersama dinas perkebunan setempat melakukan pembinaan kepada petani, dan memfasilitasi pengadaan saprodi, hingga pengurusan permodalan. Tercatat 9 perusahaan pengelola kapas yang tersebar di 7 propinsi sentra produksi: PT Nusafarm Intiland Corp, PR Sukun Kudus, PT Seco Fajar Cotton, PTPN XIV, PT Kapas Garuda Putih, Kelompok Tani Mandiri, PT New Asia Mandiri, PT Sukses Jaya Wood, dan PT Ade Agro Industri.

Benih Unggul

Walaupun harganya dipatok dan pasarnya terjamin, ternyata usaha tani kapas tidak mudah. Umur tanaman sih boleh pendek, hanya 4 bulan. Tapi tantangan yang dihadapi dalam pengembangan kapas cukup kopleks. Sebut saja ketersediaan benih bermutu, kelangkaan modal petani, masih rendahnya produktivitas, efisiensi biaya produksi, dan isu penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan.
“Usaha tani kapas sangat tergantung kepada lingkungan dan musim,” ucap Heri. Sebelum menanam, lanjut dia, perlu dilakukan survey kesesuaian lahan dan teknologi pendukung.
Sebenarnya, menurut Dr Emy Sulistiyowati, peneliti kapas dari Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat (Balittas), Malang, pihaknya telah menghasilkan berbagai teknologi. Meliputi varietas unggul, waktu tanam, pemupukan, sistem tanam, dan penegendalian hama penyakit
Varietas unggul made in Balittas yaitu Kanesia 1—15. Hingga kini baru Kanesia 8 yang banyak ditanam petani. Di luar itu, ada juga varietas unggul hasil introduksi, yakni LRA 5166 dari India, ISA 205A dari Perancis, dan 3 varietas hibrida dari China.
Kehadiran benih kapas hibrida menjadi angin segar bagi upaya pengembangan kapas nasional. Menurut Jusuf Jogianto, Dirut PT Supin Raya, pemasok benih kapas unggul di Makassar, dengan menggunakan benih hibrida, petani bisa mengantungi untung Rp7,5 juta/ha. Memang, biaya produksi meningkat dua kali lipat dibanding kapas biasa, namun produksinya sangat tinggi, 3,5—4 ton/ha. Selain Supin, penyedia benih kapa unggul di tanah air adalah PR Sukun Kudus dan PT Nusafarm Intiland Corp.(dwi)

Tawaran Investasi di Sukabumi



Salah satu kebijakan Pemkab Sukabumi adalah meningkatkan iklim investrasi yang kondusif untuk berkembangnya dunia usaha, terutama sektor strategis.

Demikian salah satu kesimpulan wawancara dengan Bupati Sukabumi, H. Sukmawijaya, di kantornya, Oktober lalu. Sebab, “Omong kosong kalau kita mau mensejahterakan rakyat tanpa ada lapangan pekerjaan. Omong kosong juga ada lapangan pekerjaan kalau tidak ada investor. Dan, omong kosong pula ada investor kalau yang ditawarkan tidak menarik,” imbuhnya.
Salah satu insentif yang ditawarkan Pemkab Sukabumi bagi para calon investor adalah pelayanan satu atap di Dinas Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (Dinas PTPM). Melalui dinas tersebut, calon investor akan di berikan kemudahan denga standar-standar yang sudah ada. Bila ada pihak yang tidak puas, investor berhak komplain kepada Kepala Dinas PTPM, atau langsung kepada bupati. “Saya akan memantau ketat perkembangan dinas tersebut, agar mereka benar-benar melayani dengan baik. Bila perlu, investor itu kita perlakukan sebagai raja,” tandas Sukmawijaya.
Memang, perizinan yang diberikan Pemkab Sukabumi kepada calon investor saat ini super mudah, lantaran melalui satu pintu. Untuk izin lokasi misalnya, paling lama rampung dalam 14 hari kerja. Padahal sebelumnya sampai berbulan-bulan.

Sapi Perah dan Ayam Ras
Adalah Gapoktan Goalpara, salah satu investor bidang peternakan sapi perah, yang telah menangkap peluang investasi di Sukabumi. Mulai tahun ini, di atas bukit seluas 20 hektar di Desa Kertaangsana, Kecamatan Nyalindung, Gapoktan Goalpara sedang mengembangkan kawasan peternakan sapi perah. “Sampai saat ini (Oktober) kami baru mengusahakan 231 ekor bibit. Rencananya, sampai 2011 kami akan mengupayakan 1.000 ekor dengan total luas garapan 350 hektar,” papar Priatmana, Ketua Gapoktan Goalpara. Sebenarnya, gapoktan ini sudah dibentuk sejak 1997. Sebelum mengembangkan di Kertaangsana, populasi milik gapoktan di Goalpara sudah mencapai 180 ekor bibit, dengan total populasi 600 ekor.
Berbeda dengan budidaya sapi perah di banyak tempat, usaha ternak yang dilakukan Gapoktan Goalpara di Kertaangsana tidak dikandangkan. Melainkan dilepas di tempat terbuka, membentuk ranch seperti di luar negeri. “Difasilitasi Dinas Peternakan dan Dinas Perkebunan, kami memperoleh pijaman lahan milik Perkebunan Teh Pasir Salam untuk dimanfaatkan,” tadas Hj. Fina Rosdiana, Bendahara Gapoktan Goalpara.
Menurut Ir Asep Sugianto MM, Kepala Dinas Peternakan Sukabumi, rencananya, tempat tersebut akan dijadikan kawasan terpadu. Di dalamnya terdapat usaha perbibitan, budidaya, pengolahan hasil, pengolahan pakan ternak, tempat pendidikan dan pelatihan, lapangan eksibisi serta suatu kawasan yang nantinya sebagai agrowisata. “Kawasan berbasis sapi perah itu bakalan menjelma menjadi agrowisata megah berbasis sapi perah pertama di Indonesia,” imbuh Asep. Fasilitas yang ditawarkan antara lain penginapan dan tempat pendidikan serta pelatihan agribisnis sapi perah.
Selain Gapoktan Goalpara, perusahaan sapi perah yang sudah berinvestasi di Sukabumi yakni Koperasi Peternak Sapi Perah Pasir Salam dan Taurus Dairy Farm. Di samping ternak besar, ada juga beberapa perusahaan bidang perunggasan yang sudah berinvestasi di Sukabumi. Antara lain PT Sierad Produce, PT Multibreeder Adirama Indonesia, PT Charoen Pokphand Indonesia, PT Ayam Manggis, PT Cipendawa, dan PT Galur Palasari Cobbindo. Perusahaan-perusahaan tersebut sudah sejak lama memanfaatkan Sukabumi sebagai tempat yang tepat untuk menjalankan roda agribisnis.

Komoditas Lahan Kering
Di luar peternakan, Sukabumi pun menyimpan banyak potensi agribisnis tanaman pangan. Menurut Ir Dana Budiman, M.Si., Kepala Dinas Pertanian Sukabumi, di samping hortikultura, ada tiga komoditas yang akan didorong agar lebih berkembang, yaitu jagung, kacang tanah, dan singkong. “Saya akan mengubah lahan kering di Sukabumi menjadi surganya komoditas lahan kering,” tandasnya. Secara keseluruhan, luas lahan kering di Sukabumi mencapai 346.834 ha. Areal tersebut tersebar di 47 kecamatan yang ada di Sukabumi.
Jagung dipilih lantaran sudah menjadi komoditas strategis dan ekonomis. Salah satunya dibutuhkan sebagai bahan baku industri pakan dan pangan. Pada panen perdana jagung hibrida di Desa Nangerang, Cicurug, Februrai lalu, Bupati Sukmawijaya mengatakan untuk menggairahkan petani lebih banyak memproduksi jagung pipil, pihaknya menggulirkan program peningkatan produktivitas melalui bantuan benih jagung hibrida sebanyak 170 ton, selama 2007. Jumlah itu untuk memenuhi 6.500 hektar kebun jagung hibrida (setara dengan 130 ton benih), dan 1.000 hektar kebun jagung komposit.
Menurut Budiman, di Sukabumi terdapat 5 sentra penanaman jagung hibrida yaitu di Kecamatan Jampang Tengah seluas 500 ha, Cikembar 500 ha, Jampangkulon 300 ha, Ciambar 500 ha, dan di Kecamatan Cicurug 500 ha. Selama 2007, Sukabumi menargetkan menanam 11.263 ha, dengan luas panen 8.448 ha dan produksi 38.023 ton.
Sampai akhir tahun ini pun, Dinas Pertanian Sukabumi menargetkan mampu menanam 10 ribu ha kacang tanah. Sementara untuk pengembangan singkong, sampai 2009 ditargetkan mencapai 60 ribu ha. ”Pemda sudah melakukan MOU dengan PT Biofuel Energi sebagai penjamin pasar. Saat ini kita sedang memacu pengembangan bibitnya dulu. Dari target 100 ha baru tertanami 15 ha,” urai Budiman. Kawasan yang bakal dijadikan sentra singkong adalah 6 kecamatan: Jampang Kulon, Surade, Jampang Tengah, Waruja, Nagrak, dan Kecamatan Kembar.

One Stop Services
Yang membanggakan, sejak Oktober lalu Pemkab Sukabumi mengembangkan program Pelayanan Sarana Agribisnis Terpadu (Pesat). Program tersebut diresmikan Mentan pada 3 Oktober lalu, berbarengan dengan pencanangan musim tanam padi 2007/2008, di Karang Tengah, Cibadak.
Menurut Budiman, rencananya Pesat akan dikembangkan sesuai dengan komoditasnya. Misalnya, Pesat padi, jagung, kacang tanah, dan Pesat tanaman hias. Satu kawasan Pesat, luasnya bisa ribuan hektar. Misalnya, Pesat singkong minimal 15 ribu ha dan Pesat kacang tanah minimal 3.000 ha.
Pesat, kata Budiman, merupakan pelayanan one stop services bagi petani atau pelaku usaha. Pasalnya, di setiap kawasan disediakan kebutuhan dari hulu sampai hilir. Misalnya di Jampang Kulon sedang dikembangkan Pesat untuk padi dan kacang tanah. Untuk keperluan budidaya disediakan sarana produksi, gudang, unit pengolahan, PPL, dan permodalam berupa kredit dari BRI. Sementara pasarnya bekerjasama dengan Bulog, RNI, dan Garuda Food.
Pemkab Sukabumi mengalokasikan dan Rp13 miliar untuk intensifikasi padi, dan Rp560 juta bagi pengembangan singkong. Selain itu, Pemkab juga memberi kemudahan dengan menawarkan kawasan yang cocok untuk komoditas tadi lengkap dengan kelompok taninya. Plus kelengkapan infrastruktur. Namun, Budiman mengakui masih ada kendala, seperti take over pada penguasaan lahan yg masih tumpang tindih.

Sejak Zaman Belanda
Sebenarnya, Sukabumi sudah terkenal sejak lama sebagai kawasan yang cocok untuk berinvestasi. Tengok saja zaman Belanda yang memanfaatkan kawasan Sukabumi sebagai salah satu sentra perkebunan teh.
“Di samping teh, kopi, dan kakao, komoditas yang kita unggulkan sekarang adalah sawit dan karet, karena prospek usaha ke depannya sangat menguntungkan,” papar Drs. Wastaram, Kepala Dinas Perkebunan Sukabumi. Untuk mendukung program revitalisasi perkebunan, khususnya karet dan sawit, Pemkab Sukabumi telah mengalokasikan dana Rp6,5 miliar dari sumber APBD.
Saat ini terdapat 239 ribu ha lahan di Sukabumi yang kurang produktif, lantaran ditanami komoditas tidak prospektif. Dari luasan tersebut, terdapat areal potensial untuk pengembangan karet dan sawit, masing-masing sekitar 50 ribu ha. “Pengembangan kedua komoditas itu akan kami genjot mulai 2008,” ucap wastaram. Sampai tahun lalu, areal perkebunan karet yang sudah ada seluas 20.514 ha. Sedangkan sawit baru 2.662 ha.
Lahan potensial tersebut adalah milik masyarakat yang kini hanya ditanami palawija, padi, dan sejumlah komoditas lain yang tidak menjanjikan secara ekonomis. Dengan ditanami palawija atau padi, hasil lahan seluas 1 ha paling banyak hanya Rp 2 juta setiap tahun. Namun, dengan karet, para petani bisa mendapatkan hasil paling sedikit Rp 1 juta setiap bulan. Apalagi bila ditanami sawit, setiap bulan petani bisa mengantungi hasil penjualan Rp4 juta—Rp5 juta.Memang dibutuhkan waktu hingga lima tahun sejak penanaman sampai pohon karet bisa disadap, atau sawit bisa dipanen. Namun, sejak penanaman hingga tahun keempat, para petani masih bisa melakukan tumpang sari. Walau demikian, Wastaram mengakui, target untuk mewujudkan perkebunan karet rakyat maupun sawit yang baru itu tidak mudah. Oleh sebab itu, kerjasama yang sinergis dan harmonis dari berbagai pihak seperti pemerintah, swasta, dan masyarakat sangat diperlukan untuk memujudkan Sukabumi sebagai sentra agribisnis. Kita tunggu hasilnya.(dwi)