Rabu, 02 Juli 2008

Harga Menggoda, Belum Jua Swasembada


Permintaan terus membumbung. Harganya pun kian melambung. Tapi mengapa jagung Indonesia belum juga menggunung? Jangan-jangan data yang ada salah hitung.

Selain tergantung pasokan dan permintaan, harga jagung lokal dipengaruhi oleh harga jagung di pasar internasional. Harga jagung impor sudah menembus US$303 per ton. Setelah ditambah ini itu dan bea masuk 5%, harga di tanah air sekitar Rp3.000—Rp3.100 per kg. Pun jagung lokal, harganya sekarang berkisar Rp2.300—Rp2.900 per kg.
Tentu saja, bila pengembangan jagung di tanah air benar-benar dilakukan, akan sangat diuntungkan oleh membaiknya harga tersebut. Bayangkan saja, untuk memproduksi satu kg jagung pipilan kering, hanya dibutuhkan biaya produksi Rp700—Rp1.000. Sementara hasil panen per hektar (ha) sekitar 7—10 ton pipilan kering.
“Setelah dikurangi biaya produksi Rp6,7 juta, saya masih mendapat keuntungan Rp11,8 juta per ha,” aku H. Hisbullah, petani yang mengusahakan 6 ha jagung di Gumukmas, Jember, Jatim. Hal senada diutarakan Maryanto, petani jagung di Trucuk, Klaten, Jateng. “Penjualan hasil panen mencapai Rp18,9 juta pe ha. Setelah dikurangi biaya produksi Rp825 per kg, keuntungannya Rp11,5 juta,” ucapnya. Baik Maryanto maupun Hisbullah, keduanya mengusahakan jagung hibrida, sejak 5 dan 9 tahun silam.

Belum Terpenuhi
Harga jagung pipilan kering memang menggoda bagi mereka yang mau jadi petani. “Kini, animo masyarakat untuk menanam jagung hibrida meningkat 10%—20% dibanding tahun lalu,” ungkap Mardahana, General Manager Seed PT DuPont Indonesia, produsen benih jagung hibrida Pioneer. Hal senada diutarakan Muhamad Saifi, Indonesia Sales Manager PT Syngenta Indonesia–Seeds Division, produsen benih jagung hibirida NK. “Dibanding tahunlalu, minat masyarakat untuk menanam jagung meningkat 3—4 kali lipat,” terangnya. Hal itu, lanjut dia tampak dari banyaknya petani yang terjun ke budidaya jagung di daerah pengembangan baru, seperti Sulawesi, Kalimantan, dan NTB.
Salah satu pemain baru di budidaya jagung adalah F. Alexander FW. Pada 2005, ia mendirikan PT Teora Triberkah Abadi untuk mengelola 300 ha kebun jagung di Sukabumi, Jabar. Selain itu, ia pun bermitra dengan petani sekitar dengan luas garapan 50 ha. “Kami terjun ke bisnis jagung lantaran permintaannya jelas, lahan masih luas, tenaga kerja tersedia, dan secara analisis usahanya sangat menguntungkan,” papar Alex yang masih aktif di bisnis perunggasan itu.
Walaupun lahan garapan Alex dan petani mitranya cukup luas, ia mengaku belum bisa memenuhi permintaan pasar yang besar. “Sementara ini kami baru bisa memasok para pengusaha ayam ras petelur. Sementara permintaan pabrik pakan yang mencapai 2.000 ton per hari belum bisa kami penuhi,” paparnya.
Memang, pasar jagung yang terbilang jelas adalah industri perunggasan. Betapa tidak, setiap hari industri unggas memerlukan pasokan jagung. Sebab, jagung menjadi bahan baku utama dalam pembuatan pakan. Tengok saja, dalam formula pakan unggas, sekitar 62% berupa jagung.
Menurut Fenni Firman Gunadi, Sekjen Asosiasi Perusakan Pakan Indonesia (GPMT), secara nasional pabrik pakan membutuhkan 350 ribu ton jagung per bulan. Di lain pihak, pasokan jagung dari petani belum bisa kontinyu, lantaran penanaman dan panen jagung berlangsung musiman. Atas alasan itu pula, untuk menutupi kekurangan pasokan, pabrikan tidak bisa menghindari impor.
Pada 2005, menurut Fenni, impor jagung sebanyak 400 ribu ton. Setahun kemudian membengkak menjadi 1,7 juta ton. Namun tahun lalu turun menjadi 670 ribu ton. Tahun ini, pabrik pakan diperkirakan butuh pasokan 3,8 juta ton.
“Kurun Januari—April, belum ada pabrik pakan yang mengimpor jagung. Sebab pasokan lokal masih mencukupi. Namun dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, di bulan Mei, Juni, dan Oktober jagung impor masuk. Sebab pada bulan itulah pasokan dari lokal kosong,” urai Fenni. Masalahnya sekarang, lanjut dia, impor lebih sulit, karena pasokannya seret. Amerika, Brasil dan China sebagai sumber jagung sudah menjadi rebutan dunia. Paling bisa mendatangkan dari India. Hanya saja, kualitas jagung India belum pernah menonjol. “Seharusnya Indonesia sudah swasembada jagung, sehingga tidak perlu repot impor,” harap Fenni.
Menurut catatan USDA, sampai April lalu, stok jagung dunia tinggal 99 juta ton. Jumlah ini merupakan kondisi terendah sejak 1983. Tahun ini, produksi jagung dunia ditaksir 778 juta ton. Sedangkan kebutuhannya diperkirakan mencapai 788 juta ton. Wajar saja bila jagung menjadi rebutan, sehingga harganya melambung.
Kondisi di dalam negeri, tampaknya data kelola jagung masih ruwet, sehingga antara jumlah produksi dan permintaan bersebrangan. Dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR, Januari lalu, Mentan Anton Apriyantono, menyebutkan produksi jagung pada 2007 sebanyak 13,28 juta ton. Sedangkan pada 2006 sebesar 11,61 juta ton. Tahun ini dan tahun depan, Anton menargetkan produksi jagung masing-masing 16 juta serta 18 juta ton. Namun Mentan tidak merinci bentuk produksinya, pipilan kering atau tongkol.
Data yang disodorkan Mentan jauh berbeda dengan catatan USDA. Tahun 2006 misalnya, USDA mencatat produksi jagung Indonesia 6,9 juta ton. Sedangkan konsumsinya 8,579 juta ton. Ditambah data impor tahun yang sama dari GPMT, catatan USDA menjadi klop.

Harus Hibridisasi
Tanpa mengesampingkan data yang ada, sebenarnya kebutuhan jagung untuk pasar dalam negeri masih menganga. Apalagi jika bicara pasar ekspor. “Kalaupun produksi jagung berlebih, kita bisa ekpor. Pasar Malaysia saja, setiap tahun mengimpor 2,5 juta ton,” ucap Farid Bahar, Ketua Dewan Pakar, Dewan Jagung Nasional.
Sesungguhnya, menggenjot produksi jagung nasional sangat memungkinkan. Sebab, “Dari 3,5 juta ha luas panen jagung, baru 30% yang menggunakan benih hibrida,” tutur Edwin S. Saragih, Technologi Development Lead PT Monsanto Indonesia, produsen benih jagung hibrida Dekalb.
Hal itu diamini Bungaran Saragih, Menteri Pertanian periode 2000—2004. “Strategi utama untuk meningkatkan produksi jagung adalah mengintroduksi benih unggul khususnya jagung hibrida,” tandasnya. Penggunaan benih hibrida, lanjut dia, lambat laun harus ditingkatkan sampai mendekati 100%. Tentunya para produsen benih perlu diberi kemudahan-kemudahan dalam memproduksi benih unggul. Namun, introduksi benih unggul menjadi sia-sia jika tidak disertai penyediaan pupuk, pestisida, serta alat dan mesin pertanian yang dibutuhkan. Semua faktor penunjang ini harus tersedia di wilayah-wilayah produksi pada waktu dan jumlah yang tepat.
Pemanfaatan benih hibrida sampai sekarang baru 19 ribu—20 ribu ton per tahun. Mardahana menghitung, bila 80% luas panen diubah dengan benih hibrida, peluang bisnis pengembangan benihnya sekitar 53 ribu ton per tahun. “Produsen benih hibrida sanggup memenuhi kebutuhan itu, bila pasarnya ada,” ucapnya.

Terkendala Pascapanen
Kendati peluang pengembangan demikian besar, persoalan lama yang kini belum terselesaikan dalam agribisnis jagung adalah penanganan pascapanen. Panen jagung di Indonesia berlangsung musiman, dua kali dalam setahun. Sementara jagung dibutuhkan industri setiap hari.
Fasilitas pascapanen yang dibutuhkan meliputi mesin pengering, pemipil, dan gudang penyimpanan layak pakai. Tak ketinggalan pembangunan infrastruktur, karena banyak daerah pengembangan yang sulit diakses kendaraan.
Dalam hal alat pengering, Ditjen P2HP-Deptan, kurun 2006—2007 telah membangun silo di 57 kabupaten sentra produksi. Sayangnya, silo yang dibangun berukuran kecil, dengan total kapasitas hanya 5.200 ton. Dibanding produksi jagung tahun lalu yang mencapai 13,28 juta ton, kapasitas silo-silo itu nyaris tak berarti.
Pemerintah malah mencoba membagi beban tanggung jawab, swasta juga diminta bertanggung jawab atas kelangsungan produksi jagung lokal. ”Di negara mana pun sebuah industri memerlukan jaminan pasokan bahan baku. Para pengusaha (pabrikan) telah dengan susah payah menciptakan lapangan kerja. Tapi di sisi lain pemerintah “enggan” memberi jaminan pasokan jagung,” keluh Fenni. “Karena suplai jagung lokal tidak jelas, baik kualitas maupun kuantitasnya, impor tidak bisa dihindarkan,” imbuh Saifi.(dadang wi)